Beranda | Artikel
Keutamaan Ilmu dan Ulama
Rabu, 19 Juni 2013

100234_rajaampat

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

“Segala puji bagi Allah, yang telah menjadikan pada setiap masa kekosongan para rasul sisa-sisa dari ahli ilmu [ulama]. Mereka yang mengajak orang yang tersesat kepada hidayah. Mereka yang bersabar dalam menghadapi gangguannya. Mereka menghidupkan jiwa-jiwa yang mati dengan Kitabullah. Mereka berikan pencerahan kepada orang-orang yang buta [hatinya] dengan cahaya dari Allah. Betapa banyak korban yang telah dibinasakan Iblis lalu mereka hidupkan kembali [jiwanya]. Betapa banyak orang yang sesat dan kebingungan lantas mereka berikan bimbingan. Betapa indah jejak dakwah mereka pada manusia, namun betapa jelek jejak (tanggapan) manusia pada mereka.”

Demikianlah yang diungkapkan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah tatkala membuka kitabnya ar-Radd ‘ala al-Jahmiyah; melukiskan betapa besar jasa para ulama bagi kehidupan umat manusia di atas muka bumi ini dan betapa besar kontribusi mereka dalam memperbaiki lembaran-lembaran sejarah manusia (lihat ar-Radd ‘ala al-Jahmiyah, hal. 55 cet. Dar ats-Tsabat 1424 H, tahqiq Shabri bin Salamah Syahain).

Ulama bagaikan bintang di tengah kegelapan malam. Abud Darda’radhiyallahu’anhu berkata, “Perumpamaan ulama di tengah umat manusia bagaikan bintang-bintang di langit yang menjadi penunjuk arah bagi manusia.” (lihat Akhlaq al-‘Ulama, hal. 29)

Ulama adalah para pejuang penyelamat kemanusiaan. Mereka mengenalkan kepada manusia tentang hakikat kemuliaan insan di atas hewan-hewan. al-Hasanrahimahullah mengatakan, “Kalau bukan karena keberadaan para ulama niscaya keadaan umat manusia tidak ada bedanya dengan binatang.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 15)

Hal itu tidak lain, karena kebutuhan manusia kepada ilmu yang diajarkan para ulama adalah sangat-sangat luar biasa. Kehilangan ilmu akan mengakibatkan bencana besar bagi umat manusia. Imam Ahmad bin Hanbalrahimahullah mengatakan, “Umat manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman; sebab makanan dan minuman diperlukan dalam sehari sekali atau dua kali. Adapun ilmu, ia dibutuhkan sepanjang waktu.” (lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 91)

Ibnul Qayyimrahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang melata di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.” (lihat al-‘Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)

Karenanya, menimba ilmu menjadi sebuah perkara yang sangat mulia dan urgen bagi kelangsungan hidup umat manusia dan kebahagiaan mereka. Dengan menuntut ilmu seorang telah melakukan perjuangan untuk mengikis kebodohan diri dan masyarakatnya. Sebuah perjuangan yang tidak akan sia-sia.

Mu’adz bin Jabalradhiyallahu’anhu mengatakan, “Pelajarilah ilmu. Sesungguhnya mempelajari ilmu karena Allah adalah bentuk rasa takut -kepada-Nya- dan menuntutnya adalah ibadah. Mengajarkannya adalah tasbih (penyucian terhadap Allah). Membahas tentangnya adalah bagian dari jihad. Mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah. Mencurahkannya kepada orang yang berhak menerimanya adalah qurbah/pendekatan diri -kepada Allah-; itulah yang akan menjadi penenang di saat sendirian dan sahabat pada waktu kesepian.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 15)

Abud Darda’radhiyallahu’anhu mengatakan, “Tidaklah ada seorang pun yang berangkat di awal siang menuju masjid demi suatu kebaikan yang ingin dia pelajari atau ingin dia ajarkan kecuali dicatat baginya pahala orang yang berjihad. Tidaklah dia kembali darinya kecuali dalam keadaan [laksana] memborong ghanimah (harta rampasan perang).” (lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 6)

Abud Darda’radhiyallahu’anhu juga berkata, “Barangsiapa berpandangan bahwa berangkat di awal siang atau di akhir siang untuk menghadiri majelis ilmu bukan jihad, maka sungguh akal dan pikirannya sudah tidak beres.” (lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 6)

Para ulama dengan kesabaran dan keyakinan mereka membimbing umat manusia kepada keselamatan dan kebahagiaan yang sebenarnya. Kebahagiaan yang tidak bisa dinilai dengan harta. Kebahagiaan yang jauh lebih berharga daripada dunia dan seisinya. Kebahagiaan yang diraih bersama lezatnya iman dan amal salih.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan lezatnya iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim dari al-‘Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu’anhu)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan, dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah.” (QS. Al-An’aam: 82)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka dia tidak akan tersesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 123)

Ilmu Landasan Ucapan dan Amalan

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semuanya pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa’: 36).

Imam Bukharirahimahullah membuat bab dalam Shahihnya di dalam Kitab al-‘Ilmu sebuah bab dengan judul ‘Ilmu sebelum berkata dan beramal, berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Maka ketahuilah, bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Allah.” (QS. Muhammad: 19).’ Lalu beliau berkata, “Allah memulai dengan ilmu.” (lihat Fath al-Bari [1/194])

Imam al-‘Ainirahimahullah berkata, “Artinya: Ini adalah bab yang akan menerangkan bahwasanya ilmu didahulukan sebelum perkataan dan perbuatan. Beliau bermaksud untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu hendaknya diilmui terlebih dahulu, baru kemudian diucapkan dan diamalkan. Sehingga ilmu lebih dikedepankan daripada keduanya secara hakikatnya. Demikian pula ilmu lebih diutamakan di atas keduanya dari sisi kemuliaan. Sebab ilmu adalah amalan hati, sementara hati adalah anggota badan yang paling mulia.” (lihat ‘Umdat al-Qari [2/58])

Ibnul Munayyirrahimahullah berkata, “Beliau bermaksud untuk menjelaskan bahwa ilmu merupakan syarat benarnya ucapan dan amalan. Sehingga keduanya tidaklah dianggap tanpanya. Maka ilmu itu lebih didahulukan daripada keduanya, sebab ilmu menjadi faktor yang akan meluruskan niat, sedangkan lurusnya niat itulah yang menjadi pelurus amalan. Penulis ingin menggarisbawahi hal itu supaya tidak muncul anggapan dari perkataan sebagian orang bahwa ‘ilmu tidak ada gunanya tanpa amalan’ yang menimbulkan sikap meremehkan ilmu dan bermudah-mudahan dalam mempelajarinya.” (lihat Fath al-Bari [1/195])

Suatu ketika ada seorang lelaki yang menemui Abdullah bin Mas’udradhiyallahu’anhu. Lelaki itu berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, amal apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Ilmu”. Kemudian dia bertanya lagi, “Amal apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Ilmu”. Lantas lelaki itu berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amal yang paling utama, lantas kamu menjawab ilmu?!”. Ibnu Mas’ud pun menimpali perkataannya, “Aduhai betapa malangnya dirimu, sesungguhnya ilmu tentang Allah merupakan sebab bermanfaatnya amalmu yang sedikit maupun yang banyak. Dan kebodohan tentang Allah akan menyebabkan amal yang sedikit maupun yang banyak menjadi tidak bermanfaat bagimu.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/133]) 

Ilmu Lebih Utama Daripada Ibadah-Ibadah Sunnah

Abu Hurairah dan Abu Dzarradhiyallahu’anhuma berkata, “Sebuah bab tentang ilmu yang kamu pelajari lebih kami cintai daripada seribu raka’at sholat sunnah.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26)

Ibnu ‘Abbasradhiyallahu’anhuma berkata, “Mempelajari dan mengingat-ingat ilmu pada sebagian malam lebih aku sukai daripada menghidupkan malam -dengan sholat sunnah-.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26)

Sufyan ats-Tsaurirahimahullah berkata, “Tidak ada suatu amalan yang lebih utama daripada menimba ilmu jika disertai dengan niat yang lurus.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26)

Qatadahrahimahullah berkata, “Sebuah bab dalam ilmu yang dijaga/dihafal oleh seorang demi kebaikan dirinya sendiri dan kebaikan orang sesudahnya itu jauh lebih utama daripada beribadah setahun penuh.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26)

az-Zuhrirahimahullah berkata, “Tidaklah Allah diibadahi dengan sesuatu yang menyamai fiqih/ilmu.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26)

Waki’rahimahullah berkata, “Tidaklah Allah diibadahi dengan sesuatu yang lebih utama daripada [ilmu] hadits.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 27)

Imam asy-Syafi’irahimahullah berkata, “Menuntut ilmu lebih utama daripada sholat sunnah.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 27)

Bisyr bin al-Haritsrahimahullah berkata, “Tidaklah aku mengetahui di atas muka bumi ini suatu amalan yang lebih utama daripada menuntut ilmu dan mempelajari hadits yaitu bagi orang yang bertakwa kepada Allah dan lurus niatnya.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 27)

Agungnya Kedudukan Para Ulama

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahullah berkata, “Kedudukan dan kekuasaan tidak bisa mengubah orang yang bukan alim mujtahid menjadi seorang alim mujtahid. Seandainya hak berbicara tentang urusan ilmu dan agama diperoleh dengan sebab kekuasaan dan kedudukan niscaya khalifah dan raja adalah orang yang paling berhak berbicara tentang ilmu dan agama. Sehingga orang-orang merujuk kepadanya dalam mencari solusi bagi masalah ilmu maupun agama yang mereka hadapi. Apabila ternyata khalifah dan raja tidak mendakwakan hal itu ada pada dirinya, demikian juga rakyat tidak wajib menerima pendapatnya tanpa melihat pendapat yang lain, kecuali apabila selaras dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, orang-orang yang lebih rendah kedudukannya daripada raja lebih pantas untuk tidak melampaui kapasitas dirinya…” (dinukil dari Qawa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 28)

Ibnu Rajab al-Hanbalirahimahullah berkata, “Ilmu tidak diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan tetapi ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba bisa memahami kebenaran. Dengannya pula seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Orang yang benar-benar berilmu akan bisa mengungkapkan ilmunya dengan kata-kata yang ringkas dan tepat sasaran.” (dinukil dari Qawa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 39)

Ibnu Mas’udradhiyallahu’anhu berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang suatu masa setelah kalian dimana tukang ceramahnya banyak namun ulamanya amat sedikit.” (dinukil dari Qawa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 40)

Ahli ilmu yang sejati adalah yang merasa takut kepada Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang benar-benar merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28). Dikarenakan ilmu dan rasa takutnya kepada Allah itulah, para ulama menjadi orang yang paling jauh dari hawa nafsu dan paling mendekati kebenaran, sehingga pendapat mereka diperhitungkan menurut kacamata syari’at (lihat Qawa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 52).

Masruq berkata, “Sekadar dengan kualitas ilmu yang dimiliki seseorang maka sekadar itulah rasa takutnya kepada Allah. Dan sekadar dengan tingkat kebodohannya maka sekadar itulah hilang rasa takutnya kepada Allah.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)

Imam Ibnul A’rabi rahimahullah berkata, “Seorang yang berilmu tidak dikatakan sebagai alim robbani sampai dia menjadi orang yang -benar-benar- berilmu, mengajarkan ilmunya, dan juga mengamalkannya.” (lihat Fath al-Bari [1/197])

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, hidupnya para ulama di tengah umat manusia adalah anugerah dan nikmat yang sangat besar. Muhammad bin Abi Hatimrahimahullah mengatakan: Aku mendengar Yahya bin Ja’far al-Baikandi berkata, “Seandainya aku mampu menambah umur Muhammad bin Isma’il (Imam Bukhari) dari jatah umurku niscaya akan aku lakukan. Karena kematianku adalah kematian seorang lelaki biasa. Adapun kematiannya berarti lenyapnya ilmu [agama].” (lihat Tarajim al-A’immah al-Kibar, hal. 118)

al-Maimunirahimahullah berkata: Aku mendengar Ahmad bin Hanbal pernah berkata, “Ada enam orang yang aku doakan kebaikan untuk mereka pada waktu sahur (menjelang subuh). Salah satunya adalah asy-Syafi’i.” (lihat Manaqib al-A’immah al-Arba’ah, hal. 107)

Abdullah putra Imam Ahmad berkata: Aku pernah bertanya kepada ayahku, “Wahai ayah. Lelaki seperti apakah Syafi’i itu? Karena aku mendengar engkau sering mendoakan kebaikan untuknya.” Beliau menjawab, “Wahai anakku. Syafi’i itu seperti matahari bagi dunia dan keselamatan bagi umat manusia. Apakah untuk kedua hal ini ada sesuatu yang bisa menjadi pengganti atau cadangan atasnya?” (lihat Tarajim al-A’immah al-Kibar, hal. 47)

Imam Abu Zur’ahrahimahullah berkata: Aku mendengar Qutaibah berkata, “Telah meninggal [Sufyan] ats-Tsauri maka matilah wara’ (sifat kehati-hatian). Telah meninggal pula Syafi’i dan matilah sunnah-sunnah (hadits). Dan meninggallah Ahmad bin Hanbal, sehingga merebaklah bid’ah-bid’ah.” (lihat Tarajim al-A’immah al-Kibar, hal. 49)

Ibnu Abi Hatimrahimahullah berkata: Aku mendengar ayahku -Abu Hatim- berkata, “Apabila kalian melihat seseorang yang mencintai Ahmad bin Hanbal, maka ketahuilah bahwa dia adalah pemegang teguh Sunnah.” (lihat Manaqib al-A’immah al-Arba’ah, hal. 134, lihat juga ucapan serupa dari Qutaibah bin Sa’id dalam buku yang sama, hal. 141-142)

Abu Ja’far al-Mukharramirahimahullah mengatakan, “Apabila kamu melihat seseorang yang menjatuhkan kedudukan Ahmad bin Hanbal, maka ketahuilah bahwa dia adalah mubtadi’/ahli bid’ah.” (lihat Manaqib al-A’immah al-Arba’ah, hal. 135)

Imam Ibnu Abi Hatimrahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari al-Warkani salah seorang tetangga Imam Ahmad bin Hanbal. Dia menceritakan, “Pada hari wafatnya Ahmad bin Hanbal masuk Islam lah dua puluh ribu orang Yahudi, Nasrani, dan Majusi.” (lihat Manaqib al-A’immah al-Arba’ah, hal. 158 dan Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 565)

Teladan Para Ulama Dalam Memuliakan Ilmu

Ibnu Wahb menceritakan, suatu saat Abud Darda’radhiyallahu’anhu berkata: Aku tidak takut apabila kelak ditanyakan kepadaku, Hai Uwaimir, apa yang sudah kamu ilmui?”. Namun, aku khawatir jika ditanyakan kepadaku, “Apa yang sudah kamu amalkan dari ilmu yang sudah kamu ketahui?”. Karena Allah tidak memberikan ilmu kepada seseorang selama dia hidup di dunia melainkan pasti  menanyainya pada hari kiamat (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)

Sa’ad bin Ibrahimrahimahullah pernah ditanya; Siapakah yang paling fakih (paham agama, pent) di antara ulama di Madinah? Maka beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling bertakwa di antara mereka.” (lihat Ta’liqat Risalah Lathifah, hal. 44).

Abu Salamah al-Khuza’irahimahullah berkata: Adalah Malik bin Anas, apabila beliau ingin berangkat untuk mengajarkan hadits maka beliau pun berwudhu sebagaimana wudhu untuk sholat. Beliau mengenakan pakaiannya yang terbaik dan memakai peci. Dan beliau pun menyisir jenggotnya. Tatkala hal itu ditanyakan kepadanya, beliau menjawab, “Aku ingin memuliakan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat Manaqib al-A’immah al-Arba’ah oleh Imam Ibnu Abdil Hadi rahimahullah, hal. 87-88)

al-Haitsam bin Jamilrahimahullah berkata: Aku pernah mendengar Malik ditanya dengan 48 pertanyaan, maka beliau memberikan jawaban untuk 32 diantara semua pertanyaan itu dengan ucapan, “Aku tidak tahu.” (lihat Manaqib al-A’immah al-Arba’ah, hal. 94)

Imam Syafi’irahimahullah berkata, “Langit manakah yang akan menaungiku? Bumi manakah yang akan menjadi tempatku berpijak? Jika aku meriwayatkan suatu hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas aku tidak sependapat dengan hadits itu.” (lihat Manaqib al-A’immah al-Arba’ah, hal. 113-114)

Imam Syafi’irahimahullah berkata, “Semestinya seorang faqih (ahli agama) meletakkan tanah di atas kepalanya untuk merendahkan dirinya di hadapan Allah dan mengungkapkan rasa syukur kepada-Nya.” (lihat Manaqib al-A’immah al-Arba’ah, hal. 117)

Abul Qasim bin Mani’rahimahullah berkata: Suatu ketika aku hendak pergi menemui Suwaid bin Sa’id demi sebuah keperluan. Kemudian, aku berkata kepada Ahmad bin Hanbal, “Apakah anda bersedia menuliskan surat rekomendasi bagiku kepadanya?”. Maka beliau pun menuliskan, “Beliau ini adalah seorang yang mencatat hadits.” Lalu aku bertanya kepadanya, “Wahai Abu Abdillah! Bagaimana dengan khidmat dan kesertaanku bersamamu; seandainya engkau tuliskan ‘Ini adalah salah seorang As-habul Hadits’?”. Maka beliau pun menjawab, “Seorang sohib/pemegang teguh hadits menurut pandangan kami adalah orang yang beramal dengan hadits.” (lihat Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 285)

Imam Syafi’irahimahullah berkata, “Apabila aku melihat salah seorang As-habul Hadits seolah-olah aku sedang melihat salah seorang Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah memberikan balasan terbaik untuk mereka. Mereka telah menjaga dalil (hadits) untuk kita. Oleh sebab itu kita sangat berhutang budi kepada mereka.” (lihat Tarajim al-A’immah al-Kibar, hal. 63 dan Manaqib al-A’immah al-Arba’ah, hal. 118)

al-Maimuni rahimahullah berkata: Ahmad bin Hanbal pernah berpesan kepadaku, “Wahai Abul Hasan! Berhati-hatilah kamu, jangan sampai engkau berbicara dalam suatu masalah yang engkau tidak memiliki imam dalam hal itu.” (lihat Manaqib al-Imam Ahmad oleh Imam Ibnul Jauzi rahimahullah, hal. 245) 

Dicabutnya Ilmu Tanda Kiamat Sudah Dekat

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebagian di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, kebodohan merajalela, khamr ditenggak, dan perzinaan merebak.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-‘Ilm [80] dan Muslim dalam Kitab al-‘Ilm [2671]). Yang dimaksud terangkatnya ilmu bukanlah dicabutnya ilmu secara langsung dari dada-dada manusia. Akan tetapi yang dimaksud adalah meninggalnya para ulama atau orang-orang yang mengemban ilmu tersebut (lihat Fath al-Bari [1/237]).

Hal itu telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin Amr al-Ash radhiyallahu’anhuma, “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu itu secara tiba-tiba -dari dada manusia- akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan cara mewafatkan para ulama. Sampai-sampai apabila tidak tersisa lagi orang alim maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin dari kalangan orang yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-‘Ilm [100] dan Muslim dalam Kitab al-‘Ilm [2673])

Ancaman Bagi Yang Tidak Tulus Dalam Menuntut Ilmu

Ibnu Baththal berkata, “Barangsiapa yang mempelajari hadits demi memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya maka kelak di akherat Allah akan memalingkan wajahnya menuju neraka.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)

Waki’ bin al-Jarrahrahimahullah berkata, “Barangsiapa menimba ilmu hadits sebagaimana datangnya (apa adanya, pen) maka dia adalah pembela Sunnah. Dan barangsiapa yang menimba ilmu hadits untuk memperkuat pendapatnya semata maka dia adalah pembela bid’ah.” (lihat Mukadimah Tahqiq Kitab az-Zuhd karya Imam Waki’, hal. 69) 

Sufyan bin ‘Uyainahrahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” Ibnul Qoyyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi mereka justru berpaling darinya.” (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)

Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (lihat al-Fawa’id, hal. 34)

Abu Abdillah ar-Rudzabarirahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71)

Sufyanrahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu dengan dalih untuk fokus beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan dalih untuk fokus menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-‘Ilmi al-‘Amal, hal. 44-45)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/keutamaan-ilmu-dan-ulama/